Mengenang Almarhum Yoram Babys
Oeleta, medio September 2006. Di sana untuk pertama kalinya aku mendengar petikan gitarnya dan merasa terpesona pada lembut suaranya. Di sana kudengar kembali lagu "menghitung hari" yang menggetarkan hati, dan sejak itu, kami menghitung hari dalam rangkaian persahabatan dan persaudaraan di HIMAFIRA (Himpunan Mahasiswa Fisika Unwira Kupang).
Detik-demi detik dilewati dengan aneka peristiwa. Banyak cerita yang dituturkan saat berjumpa. Canda, tawa, suka, dan duka menjadi harmoni yang indah.
"Belum sampai di sini," katanya saat kami berjumpa lagi, setelah jedah satu semester tanpa kabar berita. Tangannya masih memetik dawai-dawai gitar dengan begitu halus.
"Masih ada mimpi yang harus dikejar," lanjutnya sambil mulai menyanyikan lagu "more than words."
Aku mendengarnya berdendang sambil menikmati kopi dan ubi rebus di sore itu. "Bro..., minum dulu, tehmu sudah dingin," kataku mengingatkannya. Dia acuh saja, dan terus bernyanyi.
"Music is my soul," katanya lagi. Kali ini dia hentikan permainan gitarnya dan mulai menikmati menu sore itu.
Percakapan sore itu terasa semakin asyik tat kala ada beberapa sahabat yang turut bergabung. Kami menyusun langkah-langkah untuk mewujudkan sebuah impian besar. Ingin melanjutkan S2, ingin punya rumah belajar untuk membantu anak-anak yang membutuhkan tempat belajar, ingin membangun sebuah sekolah dan kami akan menjadi guru di sana, impian agar bisa sukses di dunia musik, dan impian lainnya.
Bagiku dan teman lainnya, hal itu masih dalam taraf sebatas mimpi, tidak harus dimulai dari sekarang, mengingat penghasilan di saat itu masih belum cukup. Namun baginya, mimpi itu harus segera terwujud. karena itu dia berjuang dan terus berjuang tanpa lelah.
"Lelah ini akan terbayar suatu hari nanti," tegasnya.
Setelah perjumpaan sore itu, kami pun larut dengan kesibukan masing-masing. Akupun ingin mewujudkan impian itu agar tak hanya sekedar menjadi mimpi tetapi bisa terwujud nyata. Seperti kata Nidji "mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia" dan aku meyakini itu. Langkah awal sudah dimulai walau masih tertatih. Setidaknya perpindahannya bukanlah nol. Ada jarak yang ditempuh, ada energi yang dikeluarkan, ada gaya yang diberikan. Hukum-hukum Newton menjadi sangat nyata dalam perjuangan ini.
Lagi, kami berjumpa di suatu sore untuk share apa yang sudah kami lakukan. Sore itu dia tidak hanya bercerita tetapi juga dia memperdengarkan kepadaku beberapa buah lagu karyanya. "wow..., keren!" aku memujinya. "Kaka mau simpan ko sonde?", tanyanya. "Nanti saja," jawabku. Kalau semuanya sudah rampung baru aku copy. "okay," katanya.
Waktu terus berjalan tanpa ada yang tahu bagaimana akhir dari perjuangan ini. Di suatu pagi, saat aku hendak berangkat kerja, aku menerima sms darinya. Isi sms itu: "saya sakit dan dirawat di rumah sakit, hanya sendiri saja." Aku terkejut dan juga tak yakin. Bingung, apa harus ke sekolah atau ke rumah sakit. Hari ini anak-anak ujian dan aku bertanggungjawab mengurusi soal-soal. Kuputuskan untuk ke sekolah, setelah itu baru ke rumah sakit. Di tengah perjalanan menuju ke tempat kerja, aku membalas smsnya: "istirahatlah, semoga lekas sembuh. nanti sore aku jenguk. Tuhan memberkati:-)."
Sore itu, ternyata aku ada jadwal les dan aku tak sempat mengunjunginya. Rasa bersalah menyusup di hatiku.
Keesokan harinya aku ke rumah sakit, ternyata dia sudah ke luar dan dirawat di rumah. Aku sungguh menyesal dan kecewa dengan diriku sendiri.
"Aku baik-baik saja namun aku akan cuti hingga kondisiku pulih," dia hanya sampaikan demikian saat kutelpon.
Satu semester berlalu, dia pulihkan kondisinya. Sementara aku, aku masih berjuang dengan ritme yang teratur. Tak ada percepatan karena kecepatannya konstan.
Setelah semusim berlalu, kami bersua lagi. Ada perubahan di wajahnya.
"Ayo semangat biar cepat sembuh, biar bisa meraih mimpi-mimpimu," suportku. Kami berusaha membuat sore itu menjadi warna yang ceria, melupakan sakit dan penyakit yang diderita juga segala kesedihan yang membelenggu. Semua dibikin tampak baik-baik saja walau sebenarnya ada air mata dibalik semua lelucon konyol pada perjumpaan itu.
Dia masih sempat bercerita tentang kunjungan murid-muridnya dan juga rekan gurunya yang membuat dia merasa terhibur. Dia juga masih sempat memikirkan murid-murid lesnya dan prestasi mereka, bahkan sempat memintaku menggantikannya memberi les privat untuk beberapa siswanya. "Sudahlah..., jangan dulu pikirkan pekerjaan, yang penting sehat saja dulu," aku menasihatinya. Dia hanya tersenyum mendengar kata-kataku.
Detik-demi detik terus berlalu. Setelah 7.776.000 detik tak bertemu sejak pertemuan itu, kini kami berjumpa lagi. Kali ini dia sudah semakin baik bahkan sudah gemuk kembali. "Puji Tuhan..., kamu akhirnya sembuh," ungkapku sambil menyalaminya dengan wajah ceria.
Pertemuan itu tak seperti pertemuan-pertemuan kali lalu. Pada pertemuan ini kami tak lagi cerita tentang mimpi-mimpi itu tetapi kami membahas tentang Tuhan dan diakhir pertemuan itu, kami berdoa. Pada kesempatan itu juga, aku pamit padanya dan menyampaikan bahwa aku akan melanjutkan perjuanganku di Ruteng. Kami lalu bersalaman, salam perpisahan. Aku merasa aneh, seolah akan kehilangan.
"Ah..., kok mau pulang saja pakai acara salaman seperti ini?" Biasa aja kaleee, aku mencoba membuat suasana itu jadi tak memilukan.
"Siapa tau aja kita tak bertemu lagi," jawabnya dengan senyum yang damai sambil merapikan baju.
"Aku pasti kembali ke Kupang, itu pasti," tanggapku. Aku mengantarnya hingga ke pintu gerbang. Kami saling melambaikan tangan lalu berbalik arah.
Aku meninggalkan Kupang pada tanggal 22 Juli 2013. Kupang-Ruteng, ada perubahan kedudukan. Panjang lintasan yang kutempuh sudah lebih dari 489 mil, namun kami masih sempat berbagi kabar via telpon.
Ruteng, medio September 2013. Aku mendengar suaranya lagi. Kali ini tak ada lagu yang didendangkan ataupun petikan gitar yang dimainkan, yang ada hanyalah tuturan kisah seorang sahabat yang masih terus berjuang. Aku yakin dia pasti sudah kembali jadi dirinya yang dulu.
Sebulan setelah itu di ultimo Oktober, seorang kawan mengsms aku sebuah berita duka tentang kepergiannya. Aku tak percaya dan tak percaya. Itu tidak mungkin. Saat ini dia pasti sedang menyelesaikan lagu-lagunya. Pasti sudah banyak lagu yang diciptakannya.
Selang beberapa menit, ada lagi sms yang masuk, mengabarkan hal yang sama. Setelah aku tanyakan kepada beberapa sahabat dan semua mengatakan hal yang sama, aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
Diam..., hening..., dan aku menangis.
Saklar terbuka, aliran listrik terputus, lampu mati. Perjuangan itu berakhir sampai di sini.
Selamat jalan saudara Yoram. Aku yakin hari ini engkau sudah bahagia bersama Bapa di surga. Terima kasih untuk detik demi detik yang terangkai di HIMAFIRA, pun setelahnya. Terima kasih untuk semua jasa-jasamu dan maafkan untuk semua salahku. Doaku selalu...
#MengenangAlmarhumYoramBabys.
Jangan Lupa di-Shere Ya...
0 komentar:
Posting Komentar